TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM :
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama:
Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya
seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Apabila
salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka
peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan
do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan
kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya
dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia
berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin
Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu
shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu
Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’
jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku
masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu
nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu
mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan
kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia
berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir
dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta
berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk
membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu,
maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu.
Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
“Ya
Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah
mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran
mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah,
satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara
kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
Hal
ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu
‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau
supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu
duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau
sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata
kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum
isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
“Dengan
menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah
menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya
syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya
: Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu
kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik)
untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang
beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’
Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat
kepada beliau:
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setubuhilah
isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah
(jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
Seorang
Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja • Apabila suami
telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit
hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu
terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara
keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi,
maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika
seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin
mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
•
Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam
satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?”
Beliau menjawab.
“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]
•
Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja
yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang
suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi
isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau.
Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha-
yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya
(berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
“Sesungguhnya
wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa
syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita
(yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang
demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam
an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat
wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya –
atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk
meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan
tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan
itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk
pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
““Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari
Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
“Wahai
‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya
karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh.
Katakanlah,
‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada
waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang
bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa
yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada
duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran
yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
[16]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh
al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa
nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari
haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris,
kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
•
Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang
haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’
(bercampur),
hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta
mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’
seperti
wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam
keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan
dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
“Apabila
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub,
beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.”
[21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun
riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat
aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang
bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap
suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan
rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami
isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah
laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama
dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam
hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan
hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang
berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di
tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang
dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan
kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara
yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah
tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya
: “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada
Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling
buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan
suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]
[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006] __________ Foote Note [1]. Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no.
1918),
al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148),
dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal.
92-93)
[2].
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230
dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf
fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat
Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam,
th. 1423 H.
[5].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283,
5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092),
ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun
Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan
lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6].
Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin
al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah
belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi
isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan.
Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia
menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209)) [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297),
an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i
(I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no.
1721-al-Mawarid) dan (no.
4190-Ta’liiqatul
Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini
hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul
Baari (VIII/291).
[8].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil
Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan
lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat
al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28),
dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10].
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam
Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi
Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no.
1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348,
395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no.
135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476),
al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131),
dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17].
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no.
2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i
(I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172),
dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122) [19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
Muslim (no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20].
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu
Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no.
4659).
[21].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306
(25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’
(no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23].
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu
Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan
an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.”
Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142).
Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang
melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar