Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul
A’lam Dakwah Salafiyyah
(Sumber: Majalah As Sunnah)
Sesungguhnya segala puji milik Allah subhanahu wa ta’ala. Kami
memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah dari
keburukan–keburukan diri kami dan kejelekan–kejelekan amal perbuatan
kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi
petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah
Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa
Muhammad hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya perkataan yang paling benar
adalah Kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seburuk–buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya
di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah
kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Amma ba’du:
Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah salafiyah
yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah
yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits–hadits lemah dan
palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah
mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya.
Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi
yang terpercaya. Ada juga syarat–syarat lain, yang sekarang tidak kami
sebutkan. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya
sanad dengan para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang
menisbatkan dirinya ke dalam dakwah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak
di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri.
Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya
yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang
mengambil manhajnya dari para masyayikhnya dan begitu seterusnya. Orang
yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya, seorang murid
mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari
kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya
dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk
syarat majelis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini
hingga keluar dari topik pembicaraan majelis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting,
berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana–sini, mengaku
bermanhaj salaf dan mengaku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu
periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang
shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah–masalah manhaj
dan perkara–perkara aqidah. Di samping sanad mereka munqathi’
(terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara
berturut-turut), bahkan kadang–kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari
awal sanad seorang atau lebih). Mengetahui masalah ini saja, sudah
cukup untuk merobohkan pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak
perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan dan pemikiran mereka.
Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada
saudara–saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan
seksama, dan memahami dengan sebaik–baiknya.
Memang dakwah kita berdiri di atas mata rantai para ulama yang
terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang
sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama
mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ
عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ
تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang–orang yang adil dari setiap
generasi, mereka itu menentang perubahan orang-orang yang melampui
batas, kedustaan orang–orang yang berbuat kebatilan, penyimpangan makna
orang–orang bodoh.”
Sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا
الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan
waktu sekarang dan akan datang), memberikan faidah terus–menerus dan
berkesinambungan. Dan sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كل خلف artinya من كل جيل (dari setiap generasi). Sifat keseluruhan
ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau
sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya,
tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah,
orang yang menolong agama Allah ‘azza wa jalla dengan bayyinah
(keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah
prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan
oleh sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ
السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran
tidak membahayakan mereka orang–orang yang menyelisihinya dan tidak pula
orang–orang yang menghinakannya sampai terjadi kiamat dan mereka tetap
dalam keadaan demikian.”
Sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam: لَا يَزَالُ (senantiasa) juga memberi faidah terus–menerus. Dan sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ
“Sampai terjadi kiamat.” menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang–kadang diucapkan
dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang–kadang diucapkan
dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya
kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama–ulama
kita dan ditegakkan oleh pembesar–pembesar kita di dalam dakwahnya,
adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan
kalimat Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara–saudaraku, sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah
yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu
seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal
sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama–ulama
besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan
majelis yang panjang, bahkan beberapa majelis, berhari–hari,
berbulan–bulan, dan bertahun–tahun. Tetapi, mukadimah di atas adalah
petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya
tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah
terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu
membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih
untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki
untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas
tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan
membicarakan dalam waktu yang singkat ini beberapa petikan yang
berkaitan dengan ulama–ulama dakwah salafiyah semenjak dahulu hingga
sekarang yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh
berkah ini. Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena
mereka fondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai
dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran
tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh
pensyair:
الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ – وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas
Pertama, Imam Besar Ahmad Bin Hambal -rahimahullah-
Dia hidup di masa bergelombangnya akidah yang rusak dan bergeraknya
pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan
kokoh, kuat, dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah.
Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah Khalqil
Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al Quran adalah makhluk). Beliau
dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Tetapi
dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Tetapi
dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah dan ringan
karena di dalam ketaatan kepada Allah. Ketika datang sebagian sahabatnya
berkata kepadanya,
“Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!” Dia berkata:
“Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh?”
Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah ini. Kesabaran dan
keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari para imam kita
dan mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada
mereka setelah meninggal dunia, dan menjaga mereka untuk kita ketika
mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran,
keimaman, dan amanahannya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan
larangan dan perintah-Nya.
Pengaruh Imam Ahmad juga mempengaruhi imam Abul Hasan al Asy’ari. Di
zaman ini banyak orang menisbatkan diri kepadanya, bahkan sejak dahulu.
Dia mengatakan di dalam kitabnya,
Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin, setelah menyebut aqidah Ahlu Sunah Ashabul Hadits
“Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal, saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya.”
Atau seperti apa yang dia katakan. Di sini kami akan mengingatkan suatu
hal, yaitu banyak sekali orang-orang khusus maupun orang-orang umum
yang menisbatkan dirinya kepada Abul Hasan al Asy’ari, tetapi
penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya,
tetapi kenyataannya mereka tidak menisbatkan kepadanya dalam aqidah
maupun manhaj.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham mu’tazilah. Kemudian
sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di
hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata,
“Aku
bersaksi kepada Allah, kemudian besaksi kepada kalian bahwasanya saya
melepas paham mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku
ini.” Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran
kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam menaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudaraku, kembali
dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Kebersihan sesudah kotor,
tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan
yang ditinggalkan, pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya.
Dalam meninggalkan paham mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham
mu’tazilah, imam Abul Hasan Al Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa
yang masih melekat pada dirinya. Setelah itu, di dalam kitabnya
al Ibanah fi Ushulid Diyanah, di dalam kitabnya Maqalat yang sudah saya isyaratkan tadi, dan di dalam kitabnya
Risalah ila Ahli Tsaghar,
di dalam ketiga kitab ini, nampak keadaannya secara jelas dan terang.
Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia di
atas aqidah salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada
Abul Hasan. Ya, mereka itu tidak berada pada jalan mu’tazilahnya yang
pertama, tetapi juga tidak pada jalan salafiyahnya yang terakhir. Mereka
berada pada tingkatan kedua, bukan dari mu’tazilah dan bukan dari
Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan
amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul Hasan dalam hal
yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abul Hasan dan
menyelisihi aqidah salaf yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan
tetap di atas aqidah tersebut. Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam
cuplikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya, tetapi dia
adalah ulama besar dakwah ini sepanjang sejarah ini di abad–abad
pertama.
Kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Adapun di abad-abad pertengahan, sebagaimana yang sudah saya katakan,
di dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap
ulama untuk setiap abad. Akan tetapi saya hanya akan menyebutkan
orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol. Kami menyebutkan
pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam,
seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin abdul Halim bin
Abdus Salam, Ibnu Taimiyah An Numairi Ad Dimasyqi Al Harrani
rahimahullah. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah dan menjawab masalah-masalah.
Demi Allah, demi Allah dan demi Allah, hampir saya bersumpah secara
khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini
setelah delapan abad dari kematian Imam ini -wahai saudaraku yang
mendapatkan taufik- di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk
masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam
kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan
risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu
akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya maka hal itu
disebabkan ketidakmampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah
tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami
secara baik sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya,
keluasan akalnya, kejeniusan otaknya -semoga Allah memberi rahmat
kepadanya.
Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah
bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran
kejeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka
ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama
muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan: Al Mizzi, Ibnu Rajab,
Ibnu Abdil Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid
sahabat-sahabatnya dari kalangan Imam-imam besar yang memenuhi sejarah
Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam
saja, bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan,
perjuangan, ilmu, akhlak, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi
hal-hal lainnya.
Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup di masa
bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah
Tatar sampai fitnah Syiah, juga fitnah tersebarnya mazhab Asy’ariyah
yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai
tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata
lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi,
dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari
sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu
Taimiyyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya,
memenjara, menyakiti, mengusir dan menzhaliminya. Sulthan berkata
kepadanya,
“Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka?” Dia menjawab,
“Saya memberi maaf kepada mereka.” Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata,
“Wahai Ibnu Taimiyyah, kami menzhalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab,
“Ini adalah akhlak orang-orang beriman.”
Memang, akhlak ini sebenarnya tidak di miliki kecuali oleh
orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada
posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak dizhalimi oleh orang
yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca di dalam
sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i
kecuali karena Ibnu Taimiyyah telah membantah keduanya. Di mana nama
Ibnu Taimiyyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Alam Nasyrah: 4)
Imam Ibnul Qoyyim berkata tentang ayat ini, “Sesungguhnya setiap
orang yang menolong sunah, meninggikan sunah, dan mendukung Ahlu Sunah,
dia mendapatkan bagian dari firman Allah
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” (QS. Alam Nasyrah: 4) dan setiap orang yang merusak sunah dan menentang Ahlu Sunah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah,
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 3)
Mereka (musuh-musuh sunah) itu terputus, sedangkan mereka
(penolong-penolong sunah) dengan sunah mendapatkan pertolongan dan
derajat ketinggian. Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap
bangsa Tatar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata,
“Sesungguhnya kami pasti akan menang!” Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya,
“Katakanlah insya Allah!” Dia berkata:
“Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan.”
Karena dia percaya kepada pertolongan Allah, merasa tenang dengan
taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. Dan barang siapa
bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.
Inilah Ibnu Taimiyyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah
dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Di
antaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Arrazi yang telah membangun
mazhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan
at-Ta’sis. Ibnu Taimiyyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid.
Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman,
dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dengan sebanyak 4 jilid. Berisi tentang
penjelasan kesesatan Jahmiyyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah
kalamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah di cetak dan
selebihnya -isya Allah- akan dicetak dalam waktu dekat.
Dia juga menulis bantahan kepada Al Amidi, Al Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama
Dar’u Ta’arudil ‘Aql wan Naql.
Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu
kitab dan sebagaian orang menyangka dua nama kitab itu nama untuk dua
kitab. Yaitu kitab
Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.
Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yang di beri nama
Minhajus Sunah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah.
Dia menulis dalam 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar
mereka yang bernama Al Muthahhar al Hilli atas kitabnya yang berjudul
Minhajul Karamah.
Dia membantahnya dalam 10 jilid. Kelompok Syiah sudah dikenal sebagai
musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang
dilihatnya. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan
menjawab hujah-hujah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat
mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap
terus dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemah dan dipelajari.
Orang-orang syiah tidak bisa bergerak di hadapan kitab tersebut. Inilah
Ibnu Taimiyah, seorang Imam yang merupakan ulama terbesar bagi dakwah
yang agung dan penuh berkah ini.
Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak
hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam
diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di
dalam penjara karena tipu daya dan difitnah oleh musuh-musuhnya di
hadapan sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan
tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan
jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang
karena takut bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang, karena
mereka adalah musuh-musuh Ibnu Taimiyah. Penduduk Damaskus semuanya
keluar mengusung jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari
Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah,
“Katakanlah kepada Ahli bid’ah: Perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah.”
Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qoyyim yang saya katakan –dan saya berharap tidak berlebih-lebihan,
“Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad.”
Karena dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah, mengolah
kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua
sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak
dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan.
Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa
kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang indah dalam
karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim, yang
sebagiannya telah di terangkan tadi, bukan berarti Ibnu Taimiyyah tidak
memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan
melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya
penuh dengan cobaan, beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang
cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki
oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting
untuk dicermati.
Di antara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting yaitu bahwa Imam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah
memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya,
dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita
mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah.
Perkataan itu adalah:
بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimaman dalam agama dicapai.”
Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajadah: 24)
Inilah Ibnu Taimiyyah, seorang ulama yang sangat terkenal di medan dakwah untuk mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla.
17 April, 2007
– Tingkat pembahasan: Dasar
Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul
A’lam Dakwah Salafiyyah
(Sumber: Majalah As Sunnah)
Ketiga, Muhammad Bin Abdul Wahhab –rahimahullah-
Beliau hidup tiga abad yang lampau. Di saat itu dunia dipenuhi oleh
syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang menghadapkan wajah mereka
kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdoa dan beristighatsah
kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka
menggantungkan hati mereka kepada pohon, batu, kain-kain,
pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka
mencari berkah dari semua hal di atas. Maka imam ini melaksanakan apa
yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada
imam lainnya, amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad,
pena dan tombak, keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk
membela tauhid dan aqidah yang lurus.
Beliau berdakwah di jalan Allah ta’ala dan menuju tauhid yang murni,
membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan perkara baru dalam
agama, dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Maka terjadilah
berbagai bantahan, perdebatan, dan diskusi antara beliau dengan
musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan
yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya,
karena beliau telah meninggikan Sunnah, dan tauhid.
Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, yang setiap
rumah wajib tidak kosong dari kitab-kitab tersebut. Seorang thalibul
ilmi -juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti
Kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi ‘Alal ‘Abid
(Tauhid yang merupakan hak Allah atas para hamba-Nya). Kitab ini kitab
yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya,
yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkan faedah-faedah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.
Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenaan
dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seorang di antara penduduk Afrika,
yang di sana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan
Sunnah Nabi. Dia berkata:
“Ada seorang Syaikh, di antara Syaikh
thariqat Shufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat
tangannya dan mendoakan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Dia mohon kepada Allah, agar Allah berbuat menimpakan keburukan
kepadanya,…dst doa. Doa yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang
bertauhid. Orang tadi berkata, “Suatu kali aku mendatanginya, aku
membawa kitab Tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang
judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia
berkata kepadaku, “Kitab apa ini?” Aku jawab, “Kitab yang berisi ayat
dan hadits, ditulis oleh seorang ulama.” Dia berkata, “Bolehkah aku
membacanya.” Maka seolah-olah dia berharap agar dia tambah meminta dan
penasaran. Dia lalu memberikannya, dan berkata, “Tetapi aku ingin engkau
meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda,
seorang ‘alim yang agung. Sehingga aku mendapatkan manfaat.” Maka
besoknya dia kembali, lalu Syaikh itu mengatakan, “Kitab ini sangat
bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita
berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Di dalamnya hanya
ada firman Allah dan sabda rasul. Siapakah yang menyusunnya?” Dia
menjawab, “Inilah penyusunnya. Orang yang selalu engkau doakan
kecelakaan di waktu malam dan siang.” Maka dia bertaubat kepada Allah di
saat itu juga. Dahulu dia selalu mendoakan kecelakaan untuknya, tetapi
dia lalu mendoakan kebaikan untuknya. Inilah imam Muhammad bin Abdul
Wahhab.”
Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang
semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan
bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon
kepada Allah ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat,
dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup.
Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya,
risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi ini –yang
kami sampaikan ini- adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita
dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita
pembesar kita.
Di zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena
dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah, dan
cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa,
dan di segala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid),
kita lihat Ahlusunnah yang baik, kita lihat para da’i Salafi. Mereka
tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), organisasi oleh thariqah, atau
harakah. Tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan
kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita
menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.
Di zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah
yang diberkahi ini. Di antara mereka, yang pertama adalah, Imam,
‘Allamah Abdurrahman bin Yahya Al Mu’alimi Al Yamani. Kemudian
‘Allamah
Mahmud Syakir Al-Mishri. Juga para saudara dan kawan mereka,
Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrazaq Hamzah, Muhammad Khalil Harras. Sampai
perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu
keturunan imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sampai perkara ini pada muridnya, Imam,
‘Allamah, Al Bashir,
Abu ‘Abdillah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Bersamanya juga ada
saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam,
‘Allamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya, yang serupa dengannya, imam,
‘Allamah,
Abu Abdillah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ahli fikih yang teliti,
memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku
katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama di
zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugerahkan kepadanya,
yang tidak diberikan kepada orang lain. Yaitu bahwa ceramahnya merupakan
karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya,
seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan
susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa,
luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua di atas satu jalan, yang
cemerlang dan bersih, di dalam membela Sunnah Nabi, dan meninggikan
bendera aqidah Salafiyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan
sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai
negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah
menyelesaikan kewajiban mereka. Kita bersikap kurang jika kita berhenti
di belakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari
kemenangan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka.
Kalau demikian jadilah musibah yang besar, kita mohon perlindungan
kepada Allah.
Tetapi dengan semua ini, kita mendengar orang bodoh dari sana-sini
mencela para ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka
mengatakan,
“Ibnu Baz termasuk ulama penguasa.” Wahai miskin,
apa yang kau maukan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim,
zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini,
-sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan
sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama untuk
membela penguasa yang mengikuti hawa-nafsu!
Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan:
“Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi’ (kenyataan/situasi dan kondisi).”
Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang ‘alim, tegar bagaikan
gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu, seperti perkataan ulama:
“Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu.”
Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap
sesuatu masalah, tanpa memahami waqi’, tanpa melihat sisi-sisinya, dan
tanpa meliputi detail-detailnya. Tetapi, memang istilah “memahami waqi’”
yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik
zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan
musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan
saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang
berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan
pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal itu berbalik
menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas)? Kita mohon
perlindungan kepada Allah ta’ala. Kemudian, ada orang ketiga dari
golongan yang mencela ulama kita itu, mungkin dia seorang yang bodoh,
mungkin tolol, mungkin berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani,
bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, seandainya si
bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna
irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tertolak.
Demi Allah, sesungguhnya di zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama
yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan
penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang
menganggap perselisihan antara Ahlusunnah dengan para ahli fikih
Murji’ah sebagai perselisihan semu, tidak sebenarnya. Syaikh Al-Albani
menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.
Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah
berlalu 30 tahun yang lalu, bahkan lebih. Sedang orang yang membantah
beliau, jika engkau tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak
lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau
–wahai miskin- (yang membantah beliau) sedangkan bermain-main bersama
anak-anak kecil di jalan-jalan. Di saat itu engkau sedang membaca alif,
ba’, di Taman Kanak-kanak! Kemudian ketika tumbuh sebagian rambut di
wajahmu, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang
dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah
musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap, kita mohon perlindungan
kepada Allah ta’ala.
Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah), bendera mereka
berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Orang-orang
yang menyelisihi suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka,
niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid
kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.
Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut
telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh
Utsaimin –pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad
masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah
mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita
lihat para ahli ilmu dan sunah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita
lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh Mereka semua ini berada di atas jalan
dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan
aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh
sebagian orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu
bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik di
dalam hakikat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Dan aku
melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada Allah wahai
saudara-saudaraku, sebagaimana Anda sekalian melihat.
Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan
orang-orang bodoh. Dan teruslah dakwah ini dengan kemurniannya,
kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas
menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita
berharap kita termasuk para pembelanya. Aku mohon taufik dan ketetapan,
petunjuk dan ketepatan kepada Allah untuk diriku dan Anda semua.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya,
sahabatnya semua. Akhir ucapan kami,
Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.